Cilia…….bangun! bisik mama di telingaku.Itulah namaku Cilia Gressia Meca. Seorang anak kecil yang terlahir dari keluarga kecil sederhana. Aku tinggal disebuah desa di kota ini. Mungkin kesederhanaablah yang membawaku seperti sekarang.
Pagi itu aku diantar mama pergi ke sekolah,yaitu TK Sejahtera satu-satunya TK di sini. Ketika seorang guru sedang mengajar dengan permainannya guru itu bertanya,
“Cilia apa cita-citamu nanti?”.
“Aku ingin jadi supir bu,”jawabku singkat.
“lo…kenapa?coba kamu pikirkan lagi, supirkan pekerjaan untuk laki-laki,”jelas bu guru.
“Tapikan,bu..kalau kita jadi supir kita bias pergi ke kota, keliling kota, jalan-jalan,” bantahku.
Bu gurupun menerangkan nbahwa cita-cita itu harus setinggi langit, seperti bintang yang akan kita capai suatu saat. Perkataan itulah yang selalu aku ingat.
Kini usiaku beranjak dewasa. Universitas Pendidikan Indonesia adalah pilihanku sekarang. Untuk mewujudkan sebuah cita-cita yang aku inginkan sejak SD. Menurutku jadi seorang guru adalah yang terbaik. Di dunia ini tidak akan ada seorangpun yang berilmu tanpa guru. Sebuah nyanyian singkat berjudul “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” sudah mewakili dari sekian banyak kata yang menggambarkan jeri payah seorang guru.
Setelah aku lulus dan mendapatkan penghargaan berupa gelar S1 pendidikan, aku bertekad untuk memajukan dunia ini dengan pendidikan.
Alhamdullilah sekarang bintang itu telah aku raih. Aku menjadi seorang guru di salah satu Sekolah Menengah Atas favorit di kota ini. Ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Murid-muridku sangat sulit sekali dikendalikan. Apa lagi mengingat umurku yang masih terlalu muda untuk menjadi guru mereka dibandingkan guru lain yang mengajar disini.
Pagi sekali aku berangkat. Jalanan yang macet membuat muridku menunggu ilmu yang seharusnya mereka dapat. Seharian di sekolah mengajar, sore harinya sekitar jam 15.00 aku baru pulang. Alhamdullilah maamnya muriku ada yang dating untuk les privat. Aku senang sekali dengan kegiatanku sekarang.
Hari-hariku berjalan tidak terasa. Hari ini hari minggu waktu untuk bersantai di rumah. Tiba-tiba suara telepon mengejutkanku.
“Assalamualaikum,Cilia..,” panggilnya ramah.
“Waalaikumsalam,” jawabku.
Cilia ini mama, kapan kamu pulang nak? Mama dan papa sudah rindu. Cilia ada yang ingin mama bicarakan,” suara dan sapaan itulah yang selama ini aku rindukan.
“Cilia kamu sekarang sudah dewasa, sudah matang dan punya pekerjaan. Mama yakin sekarang kamu pasti sudah menjadi wanita yang mama impikan. Mama dan papa ingin segera menggendong cucu,sayang,” jelas mama.
Perbincangan pun terus berlanjut,dan berakhir dengann keputusan bahwa aku harus segera menikah.
Minggu-minggu ini aku bingung, jika nanti aku menikah bagaimana dengan murid-muridku di SMA?, bagaimana dengan murid-murid privatku?
Mereka adalah anak-anakku, tanggung jawabku.
Akhirnya kenyataan dan takdir memang tidak dapat diubah.Kini aku sudah menjadi seorang istri untuk suamiku, ibu untuk anakku, dan guru untuk murid-muridku.
Kegiatanku sekarang berbeda dari yang dulu. Kini aku harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan segala kebutuhan suami dan anak-anakku. Siangnya aku pergi untuk mengajar. Sungguh melelahkan. Cape,stress,banyak yang harus dipikirkan, kurangnya waktu untuk keluarga kadang membuatku kurang semangat.
Tapi aku yakin pengabdianku untuk keluarga, Negara, masyarakat, dan Allah akan membawakan hasil yang terbaik dalam garis hidupku. Aku teringat guru-guruku dikala aku TK ketika aku dan teman-teman sedang menangis, tertawa, bertengkar, dan saling mengejek merekalah yang menenangkan. Guru SD yang sering dijahili oleh murid-muridnya. Guru SMP yang kadang tidak jarang ada murid yang meremehkannya dan guru SMA yang banyak sekali kegiatan dan lebih berat tanggung jawabnya. Sekarang aku mengerti mengapa mereka sangat menghargaiprofesinya. Sebuah profesi mulia,yang sangat menjadi panutan bangsa.
Aku juga mengerti mengapa mereka sangat mencintai muridnya. Karena mereka itu sudah menganggap muridnya itu sebagai anaknya sendiri.
Dan itulah yang kini aku rasakan.
Pagi itu aku diantar mama pergi ke sekolah,yaitu TK Sejahtera satu-satunya TK di sini. Ketika seorang guru sedang mengajar dengan permainannya guru itu bertanya,
“Cilia apa cita-citamu nanti?”.
“Aku ingin jadi supir bu,”jawabku singkat.
“lo…kenapa?coba kamu pikirkan lagi, supirkan pekerjaan untuk laki-laki,”jelas bu guru.
“Tapikan,bu..kalau kita jadi supir kita bias pergi ke kota, keliling kota, jalan-jalan,” bantahku.
Bu gurupun menerangkan nbahwa cita-cita itu harus setinggi langit, seperti bintang yang akan kita capai suatu saat. Perkataan itulah yang selalu aku ingat.
Kini usiaku beranjak dewasa. Universitas Pendidikan Indonesia adalah pilihanku sekarang. Untuk mewujudkan sebuah cita-cita yang aku inginkan sejak SD. Menurutku jadi seorang guru adalah yang terbaik. Di dunia ini tidak akan ada seorangpun yang berilmu tanpa guru. Sebuah nyanyian singkat berjudul “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” sudah mewakili dari sekian banyak kata yang menggambarkan jeri payah seorang guru.
Setelah aku lulus dan mendapatkan penghargaan berupa gelar S1 pendidikan, aku bertekad untuk memajukan dunia ini dengan pendidikan.
Alhamdullilah sekarang bintang itu telah aku raih. Aku menjadi seorang guru di salah satu Sekolah Menengah Atas favorit di kota ini. Ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Murid-muridku sangat sulit sekali dikendalikan. Apa lagi mengingat umurku yang masih terlalu muda untuk menjadi guru mereka dibandingkan guru lain yang mengajar disini.
Pagi sekali aku berangkat. Jalanan yang macet membuat muridku menunggu ilmu yang seharusnya mereka dapat. Seharian di sekolah mengajar, sore harinya sekitar jam 15.00 aku baru pulang. Alhamdullilah maamnya muriku ada yang dating untuk les privat. Aku senang sekali dengan kegiatanku sekarang.
Hari-hariku berjalan tidak terasa. Hari ini hari minggu waktu untuk bersantai di rumah. Tiba-tiba suara telepon mengejutkanku.
“Assalamualaikum,Cilia..,” panggilnya ramah.
“Waalaikumsalam,” jawabku.
Cilia ini mama, kapan kamu pulang nak? Mama dan papa sudah rindu. Cilia ada yang ingin mama bicarakan,” suara dan sapaan itulah yang selama ini aku rindukan.
“Cilia kamu sekarang sudah dewasa, sudah matang dan punya pekerjaan. Mama yakin sekarang kamu pasti sudah menjadi wanita yang mama impikan. Mama dan papa ingin segera menggendong cucu,sayang,” jelas mama.
Perbincangan pun terus berlanjut,dan berakhir dengann keputusan bahwa aku harus segera menikah.
Minggu-minggu ini aku bingung, jika nanti aku menikah bagaimana dengan murid-muridku di SMA?, bagaimana dengan murid-murid privatku?
Mereka adalah anak-anakku, tanggung jawabku.
Akhirnya kenyataan dan takdir memang tidak dapat diubah.Kini aku sudah menjadi seorang istri untuk suamiku, ibu untuk anakku, dan guru untuk murid-muridku.
Kegiatanku sekarang berbeda dari yang dulu. Kini aku harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan segala kebutuhan suami dan anak-anakku. Siangnya aku pergi untuk mengajar. Sungguh melelahkan. Cape,stress,banyak yang harus dipikirkan, kurangnya waktu untuk keluarga kadang membuatku kurang semangat.
Tapi aku yakin pengabdianku untuk keluarga, Negara, masyarakat, dan Allah akan membawakan hasil yang terbaik dalam garis hidupku. Aku teringat guru-guruku dikala aku TK ketika aku dan teman-teman sedang menangis, tertawa, bertengkar, dan saling mengejek merekalah yang menenangkan. Guru SD yang sering dijahili oleh murid-muridnya. Guru SMP yang kadang tidak jarang ada murid yang meremehkannya dan guru SMA yang banyak sekali kegiatan dan lebih berat tanggung jawabnya. Sekarang aku mengerti mengapa mereka sangat menghargaiprofesinya. Sebuah profesi mulia,yang sangat menjadi panutan bangsa.
Aku juga mengerti mengapa mereka sangat mencintai muridnya. Karena mereka itu sudah menganggap muridnya itu sebagai anaknya sendiri.
Dan itulah yang kini aku rasakan.